Senin, 02 September 2019

CERITA ANAK : BABI DI HUTAN CENDANA

Di Hutan Cendana, di kaki Gunung Wilis, hidup bermacam-macam binatang. Ada singa, rusa, monyet, tupai, kambing, buaya, sapi dan masih banyak lainnya. Mereka hidup damai dan saling menyayangi.

Keadaan itu berubah ketika Babi dari hutan sebelah tinggal di sana. Ia bertabiat buruk. Kerjaan sehari-hari hanya makan dan tidur. Mandi pun jika ingat. Si Babi sering berulah. Kadang mencuri pisang milik Monyet. Pernah juga menggoyangkan batang pohon tempat Tupai beristirahat hingga binatang itu hampir jatuh. Nyaris semua binatang di hutan itu pernah Babi ganggu. Tak heran banyak yang enggan berteman dengannya.

Pada suatu siang, Babi berjalan gontai menuju sungai. Ingin mandi karena tidak tahan dengan panasnya cuaca. Tetiba, langkah Babi terhenti di tengah jalan. Ia meringis. Perutnya mulas. Tanpa peduli keadaan sekitar, Babi langsung berjongkok, menuntaskan hajat.

Begitu selesai, Babi kembali berjalan. Kali ini senyum mulai terbit di bibirnya. Dibiarkan saja kotorannya dikerubuti lalat-lalat hijau. Bagi Babi yang penting segera menceburkan diri ke sungai.

Selang beberapa menit kemudian, lewatlah Ibu Kambing beserta anaknya. Ibu Kambing terkejut ketika si anak mendadak menangis kencang. Diperiksanya seluruh tubuh kambing kecil itu. Ternyata baru saja ia menginjak kotoran Babi. Ibu Kambing berang lalu mengitarkan pandangan mencari biang onar. Saat dilihatnya Babi tengah asik berenang di sungai, Ibu Kambing tergopoh mendekati.

"Babi, kalau buang air jangan sembarangan!" bentaknya. Mata Ibu Kambing melotot.

"Biarin. Kotoran-kotoranku," kata Babi acuh tak acuh.

"Awas kamu! Akan kulaporkan pada Pak Monyet," ancam Ibu Kambing.

"Lapor sana! Aku tidak takut." Babi mencebik.

Ibu Kambing berjalan cepat menuju tengah hutan, meninggalkan Babi yang tetap asik berenang. Sepertinya si Babi tak merasa bersalah sama sekali. Dianggapnya angin lalu ancaman Ibu Kambing.

Tak berapa lama setelah itu, seluruh binatang penghuni hutan berduyun-duyun menuju sungai. Pak Monyet sebagai yang dituakan di Hutan Cendana juga datang. Langsung saja ia meminta Babi untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Namun, Babi mengelak. Menurut Babi itu sepenuhnya salah Ibu Kambing yang tidak menjaga anaknya saat berjalan.

Suasana riuh seketika. Para binatang menyalah-nyalahkan si Babi. Menumpahkan kekesalan mereka selama ini. Akhirnya, Pak Monyet membuat keputusan. Sesuai peraturan yang berlaku di Hutan Cendana, siapa pun yang buang air sembarangan harus dihukum mengumpulkan buah mangga selama sehari penuh. Lalu, buah-buah itu dibagikan pada seluruh penghuni hutan. Babi tak bisa menghindar dari hukuman.

Ibu Kambing dan anaknya bersorak penuh kemenangan. Keduanya pulang dengan hati senang. Begitu pun dengan binatang-binatang lain, mereka senang karena akan mendapat buah mangga tanpa perlu repot-repot mencari. Berbeda dengan Babi yang menggerutu sepanjang waktu.

***

Esok hari, ketika mentari baru terbit, Babi berjalan malas menuju pohon mangga di tengah hutan. Jika tidak menjalani hukuman, Babi takut akan dapat sanksi tambahan. Ia menguap tak berhenti-berhenti karena jam tidurnya menjadi berkurang.

Tiba di tempat tujuan, segera saja Babi mengumpulkan buah-buah mangga yang telah jatuh ke tanah dan sebagian sudah busuk. Babi tidak peduli. Busuk atau tidak yang penting buah mangga dan hukumannya segera berakhir.

Mangga-mangga yang jatuh itu, setelah dihitung ternyata hanya cukup dibagi untuk setengah penghuni hutan. Babi pun berjalan menuju pohon mangga lain yang ada di dekat sungai. Dipungutinya satu per satu buah-buah yang jatuh. Meski kali ini banyak yang masih mentah.

Saat itulah Babi melihat Ibu Kambing beserta anaknya berjalan menuju sungai. Pikiran liciknya kembali muncul. Babi bersembunyi di balik pohon mangga agar induk beranak itu tak melihat. Begitu Ibu Kambing dan anaknya asik minum di sungai. Babi mengambil buah mangga yang paling besar dan keras. Kemudian dilemparnya ke arah bokong Ibu Kambing. Sayang, buah mangga itu meleset, mengenai pohon pisang dan jatuh di kepala Singa yang tidur. Singa tergagap.

"Kurang ajar! Siapa yang berani melempari kepalaku," teriaknya.

Singa itu langsung bangkit dan mengaum dengan keras. Suaranya menggema ke segala penjuru hutan hingga mengagetkan seluruh binatang. Membuat rusa-rusa lari tunggang langgang. Kawanan tikus sembunyi di lorong-lorong. Tupai-tupai pun ketakutan. Mereka berloncatan menuju pohon mangga. Berkumpul di dahan yang sama. Jumlah tupai terus bertambah dan bertambah sampai dahan itu melengkung hampir mencium tanah. Babi yang menyaksikan semua itu tertawa terjungkal-jungkal.

Tiba-tiba ...

Krak!

Bruk!

Dahan tersebut patah dan menimpa Babi. Bukannya menolong, tupai-tupai tadi kaget dan berlarian. Tanpa sengaja mereka menginjak-injak tubuh Babi.

Babi yang kesakitan menangis keras hingga terdengar oleh Ibu Kambing dan anaknya. Ibu Kambing memdekati Babi dan mengangkat dahan yang menghimpit tubuhnya. Namun, dahan itu terlalu besar. Ibu Kambing tak kuat mengangkatnya sendiri.

Ibu Kambing langsung berlari menuju rumah Sapi. Berharap Sapi mau membantu. Namun, Sapi tak peduli. Dengan muka masam dia berkata, "Biar tahu rasa itu Babi. Biar berhenti gangguin hidup kita. Udahlah, Mbing, kamu pulang aja."

Namun, Ibu Kambing tidak menghiraukan ucapan Sapi. Ia telanjur mengasihani. Lalu, Ibu Kambing meminta tolong pada Buaya. Ternyata jawaban Buaya pun tak jauh beda.

"Mau-maunya bantu Babi. Mending aku berendam," kata Buaya sambil berlalu.

Akhirnya, Ibu Kambing menemui Pak Monyet. Berharap ia yang dianggap bijak, bersedia membantu. Namun, Pak Monyet tak ada di rumah. Istrinya bilang, sedang mencari pisang di perbatasan hutan.

Ibu Kambing pun kembali mendatangi Babi yang semakin lemah. Melihat Ibu Kambing datang seorang diri, Babi terkulai pasrah. Apalagi kini semut-semut merah mulai mengerubungi kakinya.

"Tidak ada yang mau menolongmu, Babi. Itu karena selama ini kerjaanmu hanya mengganggu mereka," kata Ibu Kambing.

Babi pun menangis tersedu-sedu. Tidak pernah terlintas dalam benak bahwa ia akan membutuhkan bantuan para penghuni hutan. Ia terlalu angkuh. Selalu menganggap mereka semua tidak penting.

"Sudah, biar aku minta tolong Gajah saja," kata Ibu Kambing seraya berlari mencari Gajah.

Syukurlah Gajah mau membantu. Dengan dibantu Ibu Kambing, Gajah berhasil menyingkirkan dahan besar yang penuh buah mangga itu. Babi bernafas lega. Ia senang sekali bisa bebas.

Merasa malu pada kebaikan Ibu Kambing dan Gajah, Babi pun mengakui perbuatannya dan meminta maaf. Ibu Kambing memaafkan kesalahan Babi. Gajah pun begitu. Keduanya lalu membantu Babi mengumpulkan buah mangga. Anak kambing juga ikut membantu.

Sore hari begitu semua mangga sudah terkumpul, Babi mengantarnya ke seluruh penghuni hutan dan meminta maaf atas perbuatannya selama ini. Babi telah sadar. Sejak saat itu ia tidak pernah lagi mendendam pada binatang lain. Juga tidak lagi buang air sembarangan. Kini, seluruh penghuni Hutan Cendana menyayangi Babi.

Tamat

Cerpen ini ada dalam kumcer anak Negeri Pelangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar