Rabu, 14 Agustus 2019

CERPEN PLOT TWIST


Fotocopy Istrimu

Sekitar sepuluh tahun lalu aku selalu melihat perempuan itu di gerbang rumahnya. Membeli bahan makanan di tukang sayur keliling. Tidak jarang aku menghentikan sepeda sejenak pada jarak sekitar seratus langkah, demi bisa memandangnya lebih lama.

Perempuan berambut panjang yang dijepit asal itu masih mengenakan baju tidur. Wajar dia belum mandi karena aku selalu lewat pagi-pagi sekali. Sebagai murid yang rumahnya berjarak enam kilo dari sekolah aku harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Entah, dia memperhatikan kebiasaan nylenehku itu atau tidak.

Perempuan itu mengelola tempat foto copy milik orang tuanya. Aku tahu dari kakak yang mengatakan tempat foto copy-an tersebut sudah ada jauh sebelum dia sekolah. Menurutnya, sekarang generasi kedua yang melanjutkan usaha itu.

Semesta seolah mendukungku untuk mengenalnya lebih dekat ketika tugas sekolah mulai menumpuk. Suatu pagi, untuk pertama kali aku memfotocopykan tugas di tempatnya. Itu setelah aku pegal menunggunya belanja di tukang sayur.

Oleh sebab waktu terus beranjak dan tugas yang harus difotocopy cukup tebal, kukatakan akan kuambil nanti di jam istirahat. Kebetulan jarak sekolah sekitar satu kilo dari tempat itu. Jika pihak sekolah tidak mengizinkan membawa sepeda keluar di jam istirahat, aku masih bisa jalan kaki. Begitu rencanaku.

Namun, perempuan itu mengatakan, "Ndak lama kok, Dek. Ini mesinnya sudah canggih. Cukup dibuka pengaitnya. Nanti dia akan jalan sendiri." Diiringi senyum yang membuatku tidak bisa membedakan mana mendung, mana pelangi. Belum lagi suaranya begitu merdu dan ada desahan di setiap ujungnya. Ah, sungguh seksi.

Semakin hari semakin sering aku berinteraksi dengannya. Seperti dugaan, dia memang perempuan yang sangat ramah. Aku sempatkan meminta pendapat salah satu pegawainya tentang anggapan itu. Entahlah mengapa aku sangat ingin tahu tentang perempuan itu.

"Mbak Jelita santai kok orangnya, sangat care, dan nggak banyak menuntut." Begitu jawabnya.

Sayangnya, setelah perbincangan dengan pegawai itu aku tidak pernah lagi ke sana. Tak lain karena aku pindah sekolah di kota, berlawanan arah dengan rumahnya. Ribuan pagi yang kulalui dengan melihat sekilas perempuan itu kini berakhir. Namun, ia tetap hidup di dalam ingatan. Sebagai visualisasi perempuan khayalan yang kecantikannya sempurna. Melemparku dalam kubangan-kubangan ilusi yang memenuhi kepala, merecoki kewarasanku sebab selalu ingin menjadikannya tokoh utama dalam cerita yang bahkan belum pernah kutulis.

Selanjutnya, indah jika dijadikan fragmen-fragmen drama tragis, hidupku penuh tragedi. Tentang seorang pengkhianat yang membuatku kehilangan banyak hal. Mimpi-mimpi yang harus kandas, justru di saat kuncinya telah di genggaman. Aku terbanting-banting, tercabik-cabik, tersuruk-suruk hingga nyaris melupakan nama sendiri.

Seperti kebanyakan orang gagal lainnya yang menghibur diri dengan mencoba menikmati hidup. Itu juga yang kulakukan pada akhirnya. Hingga suatu hari aku terdampar di emperan toko besar. Agak terkejut bercampur takjub karena toko itu dulunya tempat fotocopy langgananku, milik perempuan itu. Kemajuannya sangat pesat. Bukan hanya tempat fotocopy, melainkan berkembang menjadi bisnis online shop khusus kebutuhan wanita dan perusahaan percetakan. Jelita benar-benar pekerja keras. Kebahagiaanku memuncak ketika mendapati iklan lowongan kerja di pintu masuknya. Aku seperti memiliki napas baru.

Seminggu setelahnya aku mengirim surat lamaran kerja. Tidak langsung kubuat hari itu juga karena kondisi tubuh ini sedang buruk. Toh, kalau memang rejekiku, pekerjaan itu tidak akan ke mana.

Tibalah suatu hari aku mendapat panggilan interview. Aku kembali bertatap muka dengannya. Perempuan itu tidak banyak berubah, masih segar dan selalu cantik. Hanya saja rambutnya kini lebih pendek. Di antara beberapa calon lainnya aku satu-satunya yang terpilih. Dia menempatkanku di bagian percetakan.

Hari pertama kerja, menu makan siangnya cukup spesial, ayam lodho. Aku menganggapnya sambutan atas bergabungnya aku di sana. Hari-hari selanjutnya aku tetap diperlakukan sangat baik. Sampai-sampai aku menganggapnya rumah kedua. Sampai-sampai aku memakan makanannya. Sampai-sampai kusuapi anaknya. Sampai ... kujamah ranjangnya.

Iya, aku jatuh cinta pada suaminya. Lelaki kalem yang melimpahkan perhatian padaku. Hal yang belum pernah kudapatkan dari laki-laki mana pun. Kini, tanpa sepengetahuan Jelita, suaminya membelikanku rumah mewah di tengah kota. Dia mengunjungiku seminggu dua kali setiap Jelita ke luar kota untuk mengurus usaha mereka. Usaha yang sepenuhnya menggunakan uang sang suami. Jelita hanya memutarnya.

Pun begitu, kekagumanku pada Jelita tidak pernah berakhir. Jika aku laki-laki pasti telah lama mengejar cintanya. Jika sekarang aku terlibat patgulipat dengan pria yang dicintainya, sungguh bukan maksudku menyakiti perasaannya. Aku hanya tak kuasa berpisah dengan lelaki itu. Biar bagaimana pun aku akan menyimpan semua ini serapat mungkin agar Jelita tetap ramah padaku dan aku tetap bisa berada di dekatnya untuk mengagumi kecantikan perempuan itu.

Selesai

Cerpen ini ada dalam buku saya Antologi Deja Vu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar