Senin, 15 Juli 2019

Sepotong Tempe (cerpen)

Di sebuah warung yang diteduhi rindangnya pohon mangga, aku biasa berdiri setiap pagi menunggu antrean panjang tempe pecel. Bukan nasi yang kubeli karena sudah matang di rumah. Sering sampai pegal betis ini menanti tempe tersebut matang. Sengaja memang digorengnya mendadak agar masih hangat ketika dihidangkan. Cara itupun berhasil menarik minat pembeli yang sebagian besar terdiri dari emak-emak.

Temanku bilang, "Emak selalu benar. Kalau berurusan dengan mereka mending kita melipir." Nah, di warung nasi pecel itupun begitu adanya. Kadang aku dapat antrean lebih dulu, tapi pulangnya paling akhir.

"Cepet. Anakku mau sekolah."

"Ayo to, Lek. Aku dulu, bojoku mau kerja."

Itu contoh alasan yang mereka gunakan agar didahulukan. Klise. Jika penjual yang bernama Lek Mijah itu tak menghiraukan, emak yang mentalnya sekuat baja lapis lima langsung mengambil sendiri tempe-tempe di dalam loyang, di depan Lek Mijah. Apakah ditegur? Tidak. Alasan Lek Mijah begini, "kami sama-sama tua kalau kutegur nanti dia malu."

Apakah pembeli yang lain marah? Iya. Mereka menggerutu begitu emak itu pergi. Sampai ada yang bilang, "kalau bukan tetanggaku sudah kuludahi orang kayak gitu." Padahal yang bilang itupun tak jarang menyerobot antrean. Aku saksinya sebagai pelanggan setia.

Yang paling menggelikan itu pembeli datang lewat pintu belakang, langsung masuk dapur dan tempe yang masih dalam wajan diborong. Padahal di depan warung yang antre bejibun. Berbagai macam protes sudah dilayangkan diam-diam pada penjual, tapi sejauh ini memang tidak pernah efektif karena lingkungan kami masih menjunjung tinggi, "mangan ora mangan kumpul." Tidak boleh cek-cok atau ribut. Apalagi perkara makanan. Tabu.

Korbannya adalah orang-orang sepertiku yang ditakdirkan sesunyi kuburan pada malam Jum'at Kliwon. Hanya pasrah. Bukan karena betah, melainkan mengalah. Ingat kata Si Mbah, "wong nylalah bojone lurah." Sampai trenyuh hati Lek Mijah sehingga aku selalu dikasih harga tempe lebih murah.

Sering karena kebiasaan mengalah itu, mas iparku berangkat mengajar tanpa sarapan dulu. Dengan jarak tempuh ke sekolah lebih dari seratus kali panjang lapangan bola, bisa dibayangkan betapa melilit perutnya. Alhasil, begitu sampai di rumah aku diomelin si mbak. Padahal dia sendiri tidak pernah mau beli sebab malas antre.

Dampaknya bukan pada mas ipar saja. Sering aku telat masuk kerja gara-gara kebiasaan beli tempe. Sampai-sampai disemprot teman senior, dimarahin bu bos, tugas ditambah-tambah. Puncaknya, waktu shift pagi aku maksa ambil siang gara-gara telanjur kesiangan. Lalu, aku dipecat hari itu juga.

Pun begitu aku masih juga mengantre setiap pagi di warung nasi pecel itu sampai pohon mangga di halamannya berbuah tiga kali. Semata-mata karena aku dituntut menyediakan sarapan untuk anggota keluarga yang hendak berangkat kerja setelah ibuku pulang ke alam baka. Menjadi semacam ritual wajib selain shalat lima waktu. Apalagi bapak tidak suka kalau sarapan pakai tahu atau telur, harus tempe. Dulu beliau dan mendiang ibu pernah jualan tempe. Bahkan aku lahir pukul satu dini hari, dua puluh tiga musim penghujan silam saat semua orang sedang memotong tempe sebelum dipasarkan subuh hari. Mungkin bapak ingin bernostalgia.

"Agar bapak tak nelangsa biarlah aku tak kerja," pikirku. Mengabaikan kebutuhan-kebutuhan akan baju baru, ponsel baru, peralatan make up baru selayaknya anak gadis pada umumnya.

Hingga pada suatu pagi ketika laron-laron beterbangan di halaman, aku yang baru keluar kamar mau kembali beli tempe pecel mendengar bapak ngobrol dengan seseorang di ruang tamu. Suara yang sangat familier. Sayup kudengar orang itu bilang hari ini menutup warung demi berkunjung ke tempat kami. Tubuhku panas dingin saat dia menyampaikan ingin melamarku untuk putra semata wayangnya. Seorang perwira militer yang baru kembali dua bulan lalu dari tugas di perbatasan Timor Leste. Katanya, putranya tertarik karena sering melihatku antre di warung nasi pecel miliknya. Ya, tamu bapak itu adalah Lek Mijah.

Dipersunting seorang perwira tak pernah berani aku memimpikannya. Sebuah kehormatan yang jarang-jarang didapat perawan kampung sepertiku. Bahkan emak-emak yang suka menyerobot antrean pun tak mendapat kehormatan semacam ini dulu. Apalagi putra Lek Mijah memiliki tatapan sayu dengan hidung lancip paruh elang yang sudah lama jadi incaran gadis-gadis tetangga.

Akhirnya, esok hari kuterima lamaran itu. Pernikahan akan digelar pada awal kemarau depan dengan kembang api yang membuat malam seperti siang. Tak kusangka, kesabaran antre tempe membawaku pada prosesi pedang pora. Ah, hidup memang kece.

***