Minggu, 12 September 2021

Jangan Lakukan Ini Saat PDKT

 


Aku lagi pengen nulis ini soalnya lagi gabut. Terus nggak ngapa-ngapain. Belum waktunya masak atau aktivitas di rumah lainnya. Mau lanjutin novel idenya masih macet. Tiba-tiba kepikiran aja pengen nulis tentang cowok aneh yang menyebalkan saat PDKT. Ini berdasar riset di beberapa situs dan pengalaman pribadi, sih. Jangan-jangan ini alasan kelen-kelen masih jomlo. 

1. Membombardir

Setiap saat ngajakin chat, telponan, vc. Nanya ini, nanya itu. Padahal baru sejam doang kenal gitu. Jangankan hubungan, chemistry aja belum ada. Itu ngeri banget lo sumpah. Kalau masih baru kenal aja udah kayak gitu gimana kalau udah jadi pacar? 

2. Marah-Marah

Biasanya setelah melakukan bombardir dan diabaikan dia akan marah-marah ngambek nggak jelas. Pernah ini ya aku ketemu cowok kayak gitu. Orangnya sih ganteng. Sehari kenalan aku tertarik. Lah, besoknya aku udah izin data mau aku matikan jangan chat karena ada hal yang harus aku kerjakan. Waktu itu aku sedang nulis cerbung Mati Saat Bercinta. Gila itu cerbung ramai banget, kan sayang kalau aku telat up sehari aja. Mana idenya lagi lancar.

Ya itu terus dia mulai mengirim pesan yang nadanya nggak enak gitu. Apalagi pas aku online WA buat lihat pesan grup nulis. Dia langsung marah-marah. Nuntut banget padahal baru sehari kenal. Ya udah. Aku akhiri aja saat itu juga. Jadian juga belum udah ngatur-ngatur. 

3. Tiba-Tiba Datang ke Rumah

Ini bikin ilfeel level puncak. Kalau cowok tanpa bilang dulu ujug-ujug metungul di depan pintu rumah cewek. Itu bukannya keren, Bro. Bukan macho. Bikin gedeg iya. Termasuk ketika cowok udah minta izin, ceweknya nolak, tapi dia ngeyel dateng. Sama aja. Ilfeel. Dipikir jadi demen apa? Diblokir malah kontakmu. 

4. Pelecehan

Udah bukan barang langka kalau cowok habis kenal langsung minta PAP. Pernah ya aku punya pengalaman. Baru sehari kenal, dia malamnya minta vc nggak pakai baju. Kuangkat, tapi kameranya kuarahkan ke tembok. Ada juga yang belum apa-apa nanyain bentuk tubuh.

Kalau sama-sama suka itu bukan masalah, tapi kan semua itu butuh proses. Cewek tu beda sama cowok.

Ok deh. Ntar kalau nemu lagi aku tambahin. Anyway, aku pernah ngalamin semua hal di atas. Dan pria-pria dengan ciri seperti itu nggak ada yang jadi pacarku.

Siapa tahu aja setelah baca ini para cowok yang seperti itu bisa mengubah cara PDKTnya menjadi lebih berkelas. Inget, ya. Semakin kelihatan bucin, semakin nggak ada nilainya kamu di mata gebetan. 


Rabu, 06 November 2019

5 KATA YANG SERING SALAH DIPAHAMI DALAM MENULIS CERITA FIKSI



5 KATA YANG SERING SALAH DIPAHAMI DALAM MENULIS CERITA FIKSI

Saya sering ketemu kata yang sebenarnya salah tapi lazim digunakan. Untuk penulis pemula yang rajin cek KBBI tentu tidak akan mengulagi kesalahan-kesalahan sederhana seperti ini. 

Yang agak bikin mood turun, ketemu penulis yang penggunaan katanya salah, begitu diingatkan malah marahin yang mengingatkan. Memangnya ada? Ada dong. Ini mode curcol. Haha.

Ok, langsung aja. Ini lima kata yang sering salah dipahami. Lima aja dulu, ya. Nanti kalau dapat lagi saya tambah.

1. Jengah

Saya sering sekali menemukan penulis menggunakan kata 'jengah' untuk mengganti kata risih, muak, dan sejenisnya. Padahal dalam KBBI 'jengah' artinya malu.

2. Acuh

Sering juga 'acuh' diartikan tidak peduli. Dalam KBBI arti kata 'acuh' itu peduli. Jadi, tak acuh sama dengan tidak peduli.

3. Bergeming

Bergeming artinya tidak bergerak sedikit jua. Jika ditulis 'tidak bergeming' artinya menjadi tidak tidak bergerak sedikit jua alias bergerak.

4. Mendengus

Mendengus artinya tiruan bunyi membuang napas kuat-kuat untuk binatang. Untuk manusia gunakan kata 'Mendengkus'.

5. Nyinyir

Dalam KBBI nyinyir artinya cerewet, bukan orang yang suka menggunjing.
Semoga membantu ya. :*

Senin, 02 September 2019

CERPEN : KANYANULUS (SEBUAH KISAH REINKARNASI)

Kanyanulus

Dia telusuri tengkukku dengan jemari yang dingin. Perlahan merayap ke pundak. Dielus-elus beberapa kali. Matanya seolah tombak yang dilesatkan ke dalam otakku.

"Belum sampai moksa, tapi Sang Dewa begitu murah memperlihatkan serpihan nirwana padaku." Suaranya begitu halus, lebih indah dari penyanyi yang pernah kutemui di jalan menuju ibukota. Para seniman memang diberi kebebasan menunjukkan bakat atas kemurahan Sri Baginda.

"Aku tidak pernah lebih indah bahkan dari dayang-dayangmu."

Dia menempelkan telunjuk di bibirku. "Keindahanmu menghapus bayangan seseorang yang telah lama berpulang. Membuat hatiku membuncah laksana rumput teki diguyur hujan setelah dijerang matahari satu bulan."

Perkataan itu bak sembilu yang perlahan mengiris jiwa. Semakin menjelaskan bahwa aku tidak akan pernah menjadi istimewa. Kenyataan yang harus diterima oleh keturunan tukang besi sepertiku. Sementara yang dimaksud Sri Baginda adalah seorang putri jelita dari kerajaan lebih tua. Putri yang telah mengakhiri hidup setelah ayahandanya kalah dalam pertempuran. Peristiwa yang memupus harapan raja untuk mempersuntingnya.

Aku menyungging senyum. "Itu sanjungan berlebihan, Baginda. Aku khawatir kutilang merasa rajawali. Turut menyerang ular, mengira mangsa padahal pemangsa."

Dia menurunkanku dari pangkuan dengan lembut, lalu melangkah membelah sungai yang mulai surut karena musim kemarau telah tiba. Bebatuan sebesar kepala raksasa tampak menyembul ke permukaan. Tanpa melepas kain yang melilit dari pinggul sampai lutut, aku mengikutinya. Ayah sudah berpesan agar aku memuliakan Sri Baginda sedemikian rupa. Itu karena aku satu-satunya gadis desa yang dipilih untuk menemaninya. Sebuah kehormatan yang lebih agung dari kejatuhan bulan.

Namun, bukan semata perintah ayah aku melakukannya. Diam-diam telah lama aku melukis ksatria gagah ini di lembar-lembar lontar. Mengandalkan imajinasi dan sedikit informasi dari desas-desus yang disebar para pedagang, tentang tatapan setajam mata elang dan mahkota berbahan emas, bertahtakan permata.

Ketika beberapa hari lalu tersiar kabar iring-iringan raja yang tengah berkeliling ke pelosok negeri akan singgah di Kalayu, aku mengucap syukur pada Dewa karena telah mengabulkan doa yang kupanjatkan. Yaitu melihat penguasa besar ini setidaknya sekali dalam hidup. Hari itu juga kuminta kain baru pada ayah dan ibu agar tampil sempurna di hadapan raja.

Benar saja, seusai upacara penyekaran--yang lebih mirip perayaan--ke makam leluhurnya, iring-iringan itu bermalam di perkampungan kami. Para penduduk berbondong-bondong memberi hadiah sebagai wujud rasa cinta. Tak lupa pula meminta raja memilih salah satu gadis untuk menemaninya selama berada di perkampungan. Tanpa melihat yang lain, sorot mata Sri Baginda tertuju padaku. Hal itu membuat iri para gadis lain, terlihat dari cara mereka menatapku. Ada juga yang berbisik raja memilihku karena ayah sangat berjasa membuatkan senjata para prajurit. Namun, bukan itu sesungguhnya. Tatapan memujanya padaku tidak akan sirna bahkan oleh tujuh tabir sekali pun.

Saat aku tertatih mengikuti langkahnya ke tengah sungai, raja memercikkan air. Seketika aku menghindar hingga rambut panjang ini mengenai wajahnya. Lalu tawanya membahana. Aku mengitarkan pandang, malu jika ada salah satu prajurit yang menyaksikan kebersamaan kami. Namun, mereka begitu patuh pada perintah yang raja berikan beberapa saat lalu untuk menyebar agak jauh dari sungai.

"Setiba di istana akan kuutus seseorang menjemputmu. Akan lebih baik jika sepasang kekasih tinggal berdekatan, bukan? Saat ini perjalananku masih panjang dan harus singgah di beberapa desa. Belum lagi iring-iringan berjalan sangat lamban."

"Tidak, Baginda. Aku tidak mengerti sama sekali kehidupan di dalam istana, juga tidak memiliki darah bangsawan. Keberadaanku tidak akan memberi keuntungan pada kekuasaanmu. Aku takut kelak akan ditelantarkan."

"Siapa yang berani menelantarkanmu di bawah tanggunganku? Aku memang tidak bisa menjadikanmu permaisuri karena hal-hal yang tidak kau pahami. Tapi, itu bukan berarti perasaanku padamu permainan semata." Raja mengangkat wajahku. Pandangan kami bertaut.

"Jika begitu, aku pasrahkan hidup dan matiku padamu, Baginda."

Raja melepas cincin berhias batu merah menyala yang ia kenakan lalu mengulungkannya padaku. "Simpanlah. Ini hadiah untukmu supaya nanti utusanku mengenalimu."

"Tidak, Baginda. Merupakan kejahatan jika rakyat jelata memiliki perhiasan."

Namun, raja memaksa. Akhirnya kuterima juga. Kemudian, ia menarikku dalam pelukan. Otot-ototnya yang keras menghalau hawa dingin merasuk ke tulangku. Hangat napasnya membuat tengkuk meruap.

"Ingatlah, akan tercatat dalam sejarah hingga ribuan tahun kemudian bahwa aku, penguasa tanah jawa pernah memeluk dan meriba gadis jelita di sini, di Kalayu. Dan aku memberimu nama Kanya. Selamanya kau akan menyandang nama itu."

Seperti genderang ditabuh dalam dada ini. Dewa Wisnu pasti telah memberi restu berlimpah atas kelahiranku sehingga mampu memiliki hati penguasa yang disegani seantero dunia. Kemudian, seperti beberapa hari sebelumnya, aku membersihkan tubuh raja tanpa melewati batas-batas yang diperbolehkan etika.

Begitu selesai, Sri Baginda kembali ke perkemahan untuk mengganti kain yang basah. Sementara aku berdiri di bawah terik, agak jauh dari perkemahan, agar kain yang kukenakan segera kering. Aku memang punya dua kain lainnya untuk berganti, tapi baru dicuci tadi pagi. Selain itu keadaannya sudah tidak bagus lagi.

Kelim kain bagian pinggul belum kering ketika kudengar ringkik kuda bersahutan. Rupanya iring-iringan raja kembali berkumpul di lapangan. Aku bergegas menuju lokasi. Tenda-tenda tempat para ningrat sudah dibongkar dan barang-barang dimasukkan ke pedati. Sebagian lagi diletakkan dalam kereta-kereta terbuka. Menyaksikan itu hatiku mencelus.

Iring-iringan besar itu berbaris rapi. Ada beberapa kelompok dengan tunggangan kuda dan gajah. Kelompok pertama memiliki tanda bunga Pulutan Putih. Di dalam kelompok ini terdapat ratusan kendaraan. Berikutnya kelompok bertanda pohon palem. Jumlah kendaraannya tak sebanyak kelompok pertama. Aku terus berjalan sampai di kelompok enam yang memiliki tanda buah maja. Kulihat raja tersenyum pada semua penduduk yang datang untuk mengucapkan selamat jalan. Sempat raja melayangkan tatapan padaku. Ia tersenyum. Belum hilang ia dari pandangan, aku bagai pohon jati ranggas di musim kemarau. Limbung bagai mabuk kecubung.

Bersambung ....

Catatan panjang yang kuakhiri dengan elipsis di atas merupakan rangkaian dari apa yang kulihat dan kurasakan dalam mimpi. Bunga tidur yang muncul selama setahun ini, berulang-ulang, tentang orang dan tempat yang sama serta peristiwa yang berurutan. Aku yakin ada kelanjutannya, tapi entah mengapa belum datang lagi mimpi serupa.

Aku terlahir dengan nama Kanyanulus. Kata Mama nama itu terlintas begitu saja dalam benak. Lalu diberikan padaku karena unik dan jarang orang memakainya. Kanya, nama yang sama dengan yang di dalam mimpiku.

Lebih aneh lagi tentang cincin dari abad empat belas yang kini menggantung di kalungku. Papa bilang hadiah dari kakek di ulang tahun yang kedua. Kakek menebus cincin berhias batu fire opal ini dari kolektor di Belanda yang dulu mendapatkannya dari Indonesia. Setiap kali melihat benda ini bagai mengulang waktu, aku merasa sudah memilikinya sejak masa yang sangat lampau. Bukan pemberian kakek, melainkan pemberian pria yang selalu hadir dalam mimpi itu. Seperti menjebakku dalam pusaran waktu yang tidak mudah dimengerti.

Bunyi sedan di halaman vila memaksaku bangkit dari sofa putih. Kusibak tirai. Ternyata Wayan yang datang. Syukurlah, kukira orang suruhan Papa. Pasti orang rumah khawatir atas kepergianku kemarin. Biar bagaimanapun aku butuh waktu untuk meyakinkan diri sendiri sebelum memasuki babak baru dalam hidup. Babak itu bernama pernikahan.

Wayan tersenyum setibanya di kamar. Ia mengernyit melihatku masih memakai piyama.

"Tadi assisten rumah tanggaku bilang kemarin dapat telpon dari mamamu. Untungnya aku sudah berpesan kalau ada yang mencari katakan aku di Pert. Kalau mamamu tahu kau sembunyi di vilaku, Kanya, aku bisa mampus. Bisa-bisa dijebloskan ke penjara dituduh menyekap." Wayan menjelaskan sembari menyiapkan bubur ayam, sarapan kami kali ini.

"Tidak akan ada yang tahu aku di sini. Ingat ya, ini bukan pertama kalinya."

"Oh, iya. Ini kan kedua kalinya kamu kabur dari pernikahan. Ck! Memalukan. Padahal Alex sudah mapan, wajahnya juga lumayan. Aneh, kamu memutuskan menikah atas keinginan sendiri, terus tiba-tiba kabur. Dua kali pula. Dua kali!" Wayan menuding ke kebaya pengantin yang kugantung di lemari kaca.

"Kau tidak akan mengerti."

"Alasan khas pengecut," ketusnya sebelum memasukkan makanan ke mulut.

Aku dan Wayan bersahabat sejak kecil. Bukan hal aneh jika aku menginap di rumahnya atau sebaliknya. Selain dia, aku tidak memiliki tempat untuk lari. Termasuk kali ini, ketika tiba-tiba aku tidak siap dengan pernikahan yang sudah matang direncanakan. Bukan karena tidak cinta dengan Alex pengantinku, tapi seperti diri ini telah dimiliki seseorang dan suatu hari dia akan datang. Tak dapat mengabaikan perasaan itu, aku lari dari rumah tiga puluh menit sebelum pernikahan dilangsungkan.

"By the way, kau sudah ke psikiater untuk konsultasi keanehan yang kau alami?" Wayan menatap dengan seksama.

"Psikolog itu bertanya apa aku bersedia menjalani hipnoterapi untuk mengetahui akar masalahnya. Jika setuju aku diminta kembali hari ini."

"Lalu?"

"Entahlah."

"Kanya, apa kau pernah berharap hidup di masa kerajaan sehingga terbawa dalam mimpi?"

"Ngawur! Mana mungkin aku berharap ada di zaman tanpa ponsel dan tampon?"

Wayan mengendikkan bahu. "Temui lagi psikolog itu. Aku juga ingin memastikan apa yang sebenarnya terjadi padamu."

"Memastikan? Berarti kau sudah menganalisa."

"Mungkin. Sudahlah, berangkat sana. Aku tidak sabar mengetahui kelanjutan dari mimpi-mimpimu itu."

Saran Wayan memang yang paling tepat untuk saat ini. Kami pun melanjutkan sarapan tanpa obrolan. Hanyut dalam pikiran masing-masing

***

Kulepas kerudung dan cadar begitu memasuki ruangan Dokter Pinkan. Dua kain itu sebelumnya kugunakan untuk menyamar jika di jalan tidak sengaja berjumpa keluarga. Perempuan dengan pembawaan seperti guru TK itu antusias menerimaku.

Diputarnya musik dengan volume kecil. Dia memintaku berbaring di sofa hitam, di ruangan dengan perabotan warna gelap. Lalu, mengajak berbincang basa-basi. Aku tidak ingat benar bagaimana selanjutnya. Hanya lamat-lamat terdengar Dokter Pinkan berbicara tentang cahaya yang mengalir, masuk, dan menyelimuti diriku. Kemudian, aku berada di sebuah lorong. Di ujungnya ada pintu. Dalam setiap pijakan menuju pintu itu, kenangan demi kenangan masa kecil berkelabat. Begitu pintu kubuka, tampaklah cahaya berwarna kekuningan. Oh, bukan cahaya, itu mahkota raja. Ah, bukan lagi. Itu lengan dengan otot-otot yang menonjol. Khas pekerja kasar. Seorang pria memakai kain yang diangkat menyerupai celana pendek.

Lalu aku benar-benar masuk ke dalamnya.

"Tidak mungkin Sri Baginda ingin menikahimu. Kau pasti salah mengartikan keramahannya." Ayah memasang wajah murka ke arahku.

"Betul kata ayahmu. Jangan bermimpi terlalu tinggi. Kita hanya rakyat jelata. Kalau ternyata itu hanya perasaanmu, kami yang menanggung malu. Lagipula kami tidak akan berani untuk menanyakan hal itu pada raja." Ibu yang telah beruban menimpali. Dielusnya kepalaku.

Aku meremas ujung kain. Pandangan ini kian lama kian buram oleh air mata. Nyatanya sebuah kejujuranlah yang kupaparkan tentang cinta Sri Baginda, tapi mereka malah menuduh. Aku tersedu. Seperti hendak dikuliti saja rasanya.

"Ayahmu sudah menerima lamaran saudara Adipati Bonorowo. Ini lamaran yang bagus. Nanti anak-anakmu akan memiliki kesempatan untuk menempati posisi tertentu dalam kadipaten. Sudah, jangan nangis terus. Aku memberi berkat di mana pun kau berada," ucap Ibu sebelum menutup pintu dari anyaman bambu.

Kenangan demi kenangan berkelebat lagi seperti slide film hingga tibalah aku di antara para perempuan tua dan muda yang memakai kain bagus. Mereka membawa untaian kembang yang sebagian dipasang di kepalaku. Terdengar kasak-kusuk, saudara Adipati Bonorowo--calon suamiku--sudah tua dan memiliki perangai kasar. Para tetangga tahu setelah menyaksikan rombongan pengantin pria yang baru tiba.

Salah satu ritual penting pernikahan yaitu kedua mempelai harus menempuh perjalanan ke tempat rohaniawan di puncak bukit untuk mendapat berkat. Dalam perjalanan itu aku semakin panik. Akhirnya, pamit untuk buang air kecil di sungai. Adik perempuanku diminta untuk menemani. Aku sengaja mengalihkan perhatiannya dengan menunjukkan perbukitan yang melekuk indah di kejauhan. Kuceritakan tentang dongeng masa kecil dan mengatakan di sanalah tempatnya. Saat dia asyuk berkhayal aku lari ke tengah hutan. Tujuanku daerah Kapulungan--pusat kerajaan--untuk menemui Sri Baginda. Jika dia belum tiba di istana, mungkin aku bisa bertemu iring-iringannya di perjalanan nanti.

Aku menyusuri hutan tanpa rasa takut sebab sempat mempelajari mantra untuk menjinakkan binatang buas. Kemampuan yang nyaris dimiliki semua orang desa atau kami semua akan mati disantap macan. Rimbunnya dedaunan membuatku semakin mudah menyelinap.

Purnama menerangi mayapada dengan sempurna ketika aku mulai kelelahan. Kain yang kukenakan telah robek di sana-sini karena terkena ranting patah dan duri-duri selama berlari nyaris setengah hari. Tiba-tiba dari rimbun perdu sepasang mata menyala mengawasiku. Semakin dekat, semakin terlihat pendar-pendar rembulan di tubuh belangnya.

Lidahnya menjulur. Aku bergidik. Kuhela napas panjang, lalu mengambil daun jati kering di bawah kaki dan meletakkannya ke wajah sambil merapal mantra. Kata orang yang berpengalaman macan akan diam-diam pergi dengan cara itu. Namun, mendadak aku lupa kata terakhir mantranya. Kuulang sampai tiga kali, masih juga tidak ingat. Melalui lubang daun terlihat makhluk bermisai panjang itu mendekat. Aku pun lari seketika.

Aku harus hidup, terus hidup sampai menemui Baginda Raja, kekasihku.

Macan itu melompat, tubuh besarnya menerkam. Aku menjerit. Ketakutan mencapai puncaknya. Makhluk itu menancapkan taring ke leherku. Aku berontak di tengah nyeri hebat yang mendera. Gigitannya makin kuat. Aku terus memukul apa saja dan menjerit-jerit. Aku tidak mau mati. Tidak mau mati!

"Kanya!"

Tiba-tiba suara Dokter Pinkan menyadarkanku.

Kubuka mata. Napas masih terengah. Benar-benar seperti baru diserang harimau. Rasa takut pun masih membayang. Dokter Pinkan memberiku segelas air dan pelan-pelan menenangkanku kembali.

***

Wayan masih duduk di sofa saat aku tiba. Ia melayangkan sorot aneh. Lalu mencecar dengan berbagai pertanyaan. Kuceritakan saja apa yang kulihat selama dalam pengaruh hipnotis.

"Apa kata psikolog?"

"Belum mengatakan apa-apa. Dokter Pinkan membangunkan di saat-saat aku sekarat."

Pria berambut ikal itu memutar bola mata. Lalu menegakkan tubuh tanda tengah serius.

"Kanya, aku sudah memikirkan dan mencari informasi terkait apa yang kamu alami. Raja Jawa, tempat bernama Kalayu, iring-iringan lengkap dengan tanda-tandanya, penyekaran, semua itu tertulis lengkap dalam sejarah. Bahkan dalam Kakawin Negarakertagama peninggalan Majapahit, pada pupuh ketiga puluh satu tertulis, Prabu Hayam Wuruk ketika singgah di tempat bernama Kalayu pernah memeluk wanita cantik dan meriba gadis muda. Gadis muda dalam Bahasa Sansekerta disebut Kanya. Dalam Negarakertagama ditulis Kanyanulus, namamu. Mungkin yang dimaksud dalam kakawin itu dirimu."

Aku ternganga dibuatnya.

Wayan melanjutkan, "Kanya, kamu itu mungkin reinkarnasi dari zaman Majapahit."

"Reinkarnasi?" Aku memang sering mendengar kisah tentang orang yang bisa mengingat kehidupan sebelumnya dengan detail dan ternyata aku juga?

"Kamu terlahir kembali karena begitu terikat dengan dunia. Meninggal dengan tragis saat hendak menjumpai sang kekasih. Bahkan alasan fobiamu dengan kucing pun terungkap. Di kehidupan sebelumnya kamu mati dimakan harimau. Traumanya masih terbawa hingga kini."

"Apakah itu juga alasan aku selalu kabur dari pernikahan?"

Wayan mengangguk gamang.

"Berarti pria yang menjadi kekasihku saat ini harus reinkarnasi dari Prabu Hayam Wuruk agar aku tidak kabur, gitu?"

Mendengar pertanyaanku yang ini, Wayan tampak tidak yakin menjawabnya.

"Masalahnya, manusia tidak akan terlahir kembali jika mampu bersatu dengan Tuhan. Jiwa raganya lenyap bersamaan atau moksa. Dan jika Prabu Hayam Wuruk ternyata moksa, kau tidak akan pernah bertemu lagi dengannya di dunia ini. Solusinya, berdamailah dengan dirimu. Terima hidupmu apapun adanya saat ini."

"Aku tidak setuju, Wayan. Aku begitu terikat dengan raja itu."

"Kalau begitu kamu akan terus mencari sampai mati. Lalu terlahir kembali, kabur lagi dari pernikahan, begitu terus sampai tujuh kehidupan."

Ia menatapku tajam.

"Tapi, Wayan, ingat-ingatan itu bercokol di alam bawah sadar bukan atas kehendakku."

"Psikolog itu akan membantumu untuk bisa hidup dengan baik, Kanya, yang penting kamu terima dulu. Katakan pada keluargamu, pada Alex terutama tentang apa yang kamu alami. Aku yakin mereka akan mendukung dan Alex bisa menunggu sampai kau benar-benar siap."

"Aku telah mengecewakannya dua kali." Aku lunglai.

"Jika dia mencintaimu, dia akan bersabar, Kanya. Nanti biar kuhubungi dia."

Wayan menepuk pundakku. Dia memang sahabat yang baik. Selain itu juga taat pada ajaran agama sehingga menyejukkan orang-orang di dekatnya.

***

Aku menyaksikan debur ombak sembari menikmati minuman hangat. Wayan bilang malam ini ingin bersantap bersama di restoran yang terletak di tepi pantai. Kenyataan tentang diri ini dari keterangan Wayan membuatku seolah memiliki napas baru. Mungkin aku akan terkenal jika sampai media tahu. Reinkarnasi selalu menjadi topik menarik untuk dibahas. Kuteguk teh sekali lagi.

Jemari dingin seseorang menyentuh pundakku. Dia Alex. Dikecupnya keningku sebelum menduduki kursi. Ini pertama kali kami bertemu setelah pernikahan yang batal.

"Wayan memberi tahuku kau di sini, Kanya."

"Lex, aku minta maaf." Aku mengucapnya dengan sangat gugup.

"Wayan sudah memberi tahuku semuanya. Iya, Kanya, kita menjalaninya pelan-pelan saja. Tidak apa-apa." Alex menggenggam tanganku dengan erat. Lalu, "Aku tidak percaya reinkarnasi, tapi bukan itu poinnya. Kau kabur karena punya masalah dengan dirimu bukan dengan diriku. Aku akan menemanimu sampai bisa berdamai dengan semua itu. Kanya, dalam hidup yang terpenting bagaimana kita melakukan hal terbaik saat ini."

Penjelasannya membuatku terharu.

"Aku mencintaimu, Alex."

Pria itu membelai pipiku. Bulan yang bertengger di pucuk nyiur mengintip malu. Melalui bulan itu ingin kutitipkan salam untuk Sang Raja, bahwa dialah cinta yang paling indah. Iya, karena aku tidak pernah bisa memilikinya.

Tamat

Tulungagung, 20 Juli 2019

Cerpen ini ada dalam buku Lelaki yang Mencintai Pintu.

CERITA ANAK : BABI DI HUTAN CENDANA

Di Hutan Cendana, di kaki Gunung Wilis, hidup bermacam-macam binatang. Ada singa, rusa, monyet, tupai, kambing, buaya, sapi dan masih banyak lainnya. Mereka hidup damai dan saling menyayangi.

Keadaan itu berubah ketika Babi dari hutan sebelah tinggal di sana. Ia bertabiat buruk. Kerjaan sehari-hari hanya makan dan tidur. Mandi pun jika ingat. Si Babi sering berulah. Kadang mencuri pisang milik Monyet. Pernah juga menggoyangkan batang pohon tempat Tupai beristirahat hingga binatang itu hampir jatuh. Nyaris semua binatang di hutan itu pernah Babi ganggu. Tak heran banyak yang enggan berteman dengannya.

Pada suatu siang, Babi berjalan gontai menuju sungai. Ingin mandi karena tidak tahan dengan panasnya cuaca. Tetiba, langkah Babi terhenti di tengah jalan. Ia meringis. Perutnya mulas. Tanpa peduli keadaan sekitar, Babi langsung berjongkok, menuntaskan hajat.

Begitu selesai, Babi kembali berjalan. Kali ini senyum mulai terbit di bibirnya. Dibiarkan saja kotorannya dikerubuti lalat-lalat hijau. Bagi Babi yang penting segera menceburkan diri ke sungai.

Selang beberapa menit kemudian, lewatlah Ibu Kambing beserta anaknya. Ibu Kambing terkejut ketika si anak mendadak menangis kencang. Diperiksanya seluruh tubuh kambing kecil itu. Ternyata baru saja ia menginjak kotoran Babi. Ibu Kambing berang lalu mengitarkan pandangan mencari biang onar. Saat dilihatnya Babi tengah asik berenang di sungai, Ibu Kambing tergopoh mendekati.

"Babi, kalau buang air jangan sembarangan!" bentaknya. Mata Ibu Kambing melotot.

"Biarin. Kotoran-kotoranku," kata Babi acuh tak acuh.

"Awas kamu! Akan kulaporkan pada Pak Monyet," ancam Ibu Kambing.

"Lapor sana! Aku tidak takut." Babi mencebik.

Ibu Kambing berjalan cepat menuju tengah hutan, meninggalkan Babi yang tetap asik berenang. Sepertinya si Babi tak merasa bersalah sama sekali. Dianggapnya angin lalu ancaman Ibu Kambing.

Tak berapa lama setelah itu, seluruh binatang penghuni hutan berduyun-duyun menuju sungai. Pak Monyet sebagai yang dituakan di Hutan Cendana juga datang. Langsung saja ia meminta Babi untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Namun, Babi mengelak. Menurut Babi itu sepenuhnya salah Ibu Kambing yang tidak menjaga anaknya saat berjalan.

Suasana riuh seketika. Para binatang menyalah-nyalahkan si Babi. Menumpahkan kekesalan mereka selama ini. Akhirnya, Pak Monyet membuat keputusan. Sesuai peraturan yang berlaku di Hutan Cendana, siapa pun yang buang air sembarangan harus dihukum mengumpulkan buah mangga selama sehari penuh. Lalu, buah-buah itu dibagikan pada seluruh penghuni hutan. Babi tak bisa menghindar dari hukuman.

Ibu Kambing dan anaknya bersorak penuh kemenangan. Keduanya pulang dengan hati senang. Begitu pun dengan binatang-binatang lain, mereka senang karena akan mendapat buah mangga tanpa perlu repot-repot mencari. Berbeda dengan Babi yang menggerutu sepanjang waktu.

***

Esok hari, ketika mentari baru terbit, Babi berjalan malas menuju pohon mangga di tengah hutan. Jika tidak menjalani hukuman, Babi takut akan dapat sanksi tambahan. Ia menguap tak berhenti-berhenti karena jam tidurnya menjadi berkurang.

Tiba di tempat tujuan, segera saja Babi mengumpulkan buah-buah mangga yang telah jatuh ke tanah dan sebagian sudah busuk. Babi tidak peduli. Busuk atau tidak yang penting buah mangga dan hukumannya segera berakhir.

Mangga-mangga yang jatuh itu, setelah dihitung ternyata hanya cukup dibagi untuk setengah penghuni hutan. Babi pun berjalan menuju pohon mangga lain yang ada di dekat sungai. Dipungutinya satu per satu buah-buah yang jatuh. Meski kali ini banyak yang masih mentah.

Saat itulah Babi melihat Ibu Kambing beserta anaknya berjalan menuju sungai. Pikiran liciknya kembali muncul. Babi bersembunyi di balik pohon mangga agar induk beranak itu tak melihat. Begitu Ibu Kambing dan anaknya asik minum di sungai. Babi mengambil buah mangga yang paling besar dan keras. Kemudian dilemparnya ke arah bokong Ibu Kambing. Sayang, buah mangga itu meleset, mengenai pohon pisang dan jatuh di kepala Singa yang tidur. Singa tergagap.

"Kurang ajar! Siapa yang berani melempari kepalaku," teriaknya.

Singa itu langsung bangkit dan mengaum dengan keras. Suaranya menggema ke segala penjuru hutan hingga mengagetkan seluruh binatang. Membuat rusa-rusa lari tunggang langgang. Kawanan tikus sembunyi di lorong-lorong. Tupai-tupai pun ketakutan. Mereka berloncatan menuju pohon mangga. Berkumpul di dahan yang sama. Jumlah tupai terus bertambah dan bertambah sampai dahan itu melengkung hampir mencium tanah. Babi yang menyaksikan semua itu tertawa terjungkal-jungkal.

Tiba-tiba ...

Krak!

Bruk!

Dahan tersebut patah dan menimpa Babi. Bukannya menolong, tupai-tupai tadi kaget dan berlarian. Tanpa sengaja mereka menginjak-injak tubuh Babi.

Babi yang kesakitan menangis keras hingga terdengar oleh Ibu Kambing dan anaknya. Ibu Kambing memdekati Babi dan mengangkat dahan yang menghimpit tubuhnya. Namun, dahan itu terlalu besar. Ibu Kambing tak kuat mengangkatnya sendiri.

Ibu Kambing langsung berlari menuju rumah Sapi. Berharap Sapi mau membantu. Namun, Sapi tak peduli. Dengan muka masam dia berkata, "Biar tahu rasa itu Babi. Biar berhenti gangguin hidup kita. Udahlah, Mbing, kamu pulang aja."

Namun, Ibu Kambing tidak menghiraukan ucapan Sapi. Ia telanjur mengasihani. Lalu, Ibu Kambing meminta tolong pada Buaya. Ternyata jawaban Buaya pun tak jauh beda.

"Mau-maunya bantu Babi. Mending aku berendam," kata Buaya sambil berlalu.

Akhirnya, Ibu Kambing menemui Pak Monyet. Berharap ia yang dianggap bijak, bersedia membantu. Namun, Pak Monyet tak ada di rumah. Istrinya bilang, sedang mencari pisang di perbatasan hutan.

Ibu Kambing pun kembali mendatangi Babi yang semakin lemah. Melihat Ibu Kambing datang seorang diri, Babi terkulai pasrah. Apalagi kini semut-semut merah mulai mengerubungi kakinya.

"Tidak ada yang mau menolongmu, Babi. Itu karena selama ini kerjaanmu hanya mengganggu mereka," kata Ibu Kambing.

Babi pun menangis tersedu-sedu. Tidak pernah terlintas dalam benak bahwa ia akan membutuhkan bantuan para penghuni hutan. Ia terlalu angkuh. Selalu menganggap mereka semua tidak penting.

"Sudah, biar aku minta tolong Gajah saja," kata Ibu Kambing seraya berlari mencari Gajah.

Syukurlah Gajah mau membantu. Dengan dibantu Ibu Kambing, Gajah berhasil menyingkirkan dahan besar yang penuh buah mangga itu. Babi bernafas lega. Ia senang sekali bisa bebas.

Merasa malu pada kebaikan Ibu Kambing dan Gajah, Babi pun mengakui perbuatannya dan meminta maaf. Ibu Kambing memaafkan kesalahan Babi. Gajah pun begitu. Keduanya lalu membantu Babi mengumpulkan buah mangga. Anak kambing juga ikut membantu.

Sore hari begitu semua mangga sudah terkumpul, Babi mengantarnya ke seluruh penghuni hutan dan meminta maaf atas perbuatannya selama ini. Babi telah sadar. Sejak saat itu ia tidak pernah lagi mendendam pada binatang lain. Juga tidak lagi buang air sembarangan. Kini, seluruh penghuni Hutan Cendana menyayangi Babi.

Tamat

Cerpen ini ada dalam kumcer anak Negeri Pelangi.

Rabu, 14 Agustus 2019

CERPEN PLOT TWIST


Fotocopy Istrimu

Sekitar sepuluh tahun lalu aku selalu melihat perempuan itu di gerbang rumahnya. Membeli bahan makanan di tukang sayur keliling. Tidak jarang aku menghentikan sepeda sejenak pada jarak sekitar seratus langkah, demi bisa memandangnya lebih lama.

Perempuan berambut panjang yang dijepit asal itu masih mengenakan baju tidur. Wajar dia belum mandi karena aku selalu lewat pagi-pagi sekali. Sebagai murid yang rumahnya berjarak enam kilo dari sekolah aku harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Entah, dia memperhatikan kebiasaan nylenehku itu atau tidak.

Perempuan itu mengelola tempat foto copy milik orang tuanya. Aku tahu dari kakak yang mengatakan tempat foto copy-an tersebut sudah ada jauh sebelum dia sekolah. Menurutnya, sekarang generasi kedua yang melanjutkan usaha itu.

Semesta seolah mendukungku untuk mengenalnya lebih dekat ketika tugas sekolah mulai menumpuk. Suatu pagi, untuk pertama kali aku memfotocopykan tugas di tempatnya. Itu setelah aku pegal menunggunya belanja di tukang sayur.

Oleh sebab waktu terus beranjak dan tugas yang harus difotocopy cukup tebal, kukatakan akan kuambil nanti di jam istirahat. Kebetulan jarak sekolah sekitar satu kilo dari tempat itu. Jika pihak sekolah tidak mengizinkan membawa sepeda keluar di jam istirahat, aku masih bisa jalan kaki. Begitu rencanaku.

Namun, perempuan itu mengatakan, "Ndak lama kok, Dek. Ini mesinnya sudah canggih. Cukup dibuka pengaitnya. Nanti dia akan jalan sendiri." Diiringi senyum yang membuatku tidak bisa membedakan mana mendung, mana pelangi. Belum lagi suaranya begitu merdu dan ada desahan di setiap ujungnya. Ah, sungguh seksi.

Semakin hari semakin sering aku berinteraksi dengannya. Seperti dugaan, dia memang perempuan yang sangat ramah. Aku sempatkan meminta pendapat salah satu pegawainya tentang anggapan itu. Entahlah mengapa aku sangat ingin tahu tentang perempuan itu.

"Mbak Jelita santai kok orangnya, sangat care, dan nggak banyak menuntut." Begitu jawabnya.

Sayangnya, setelah perbincangan dengan pegawai itu aku tidak pernah lagi ke sana. Tak lain karena aku pindah sekolah di kota, berlawanan arah dengan rumahnya. Ribuan pagi yang kulalui dengan melihat sekilas perempuan itu kini berakhir. Namun, ia tetap hidup di dalam ingatan. Sebagai visualisasi perempuan khayalan yang kecantikannya sempurna. Melemparku dalam kubangan-kubangan ilusi yang memenuhi kepala, merecoki kewarasanku sebab selalu ingin menjadikannya tokoh utama dalam cerita yang bahkan belum pernah kutulis.

Selanjutnya, indah jika dijadikan fragmen-fragmen drama tragis, hidupku penuh tragedi. Tentang seorang pengkhianat yang membuatku kehilangan banyak hal. Mimpi-mimpi yang harus kandas, justru di saat kuncinya telah di genggaman. Aku terbanting-banting, tercabik-cabik, tersuruk-suruk hingga nyaris melupakan nama sendiri.

Seperti kebanyakan orang gagal lainnya yang menghibur diri dengan mencoba menikmati hidup. Itu juga yang kulakukan pada akhirnya. Hingga suatu hari aku terdampar di emperan toko besar. Agak terkejut bercampur takjub karena toko itu dulunya tempat fotocopy langgananku, milik perempuan itu. Kemajuannya sangat pesat. Bukan hanya tempat fotocopy, melainkan berkembang menjadi bisnis online shop khusus kebutuhan wanita dan perusahaan percetakan. Jelita benar-benar pekerja keras. Kebahagiaanku memuncak ketika mendapati iklan lowongan kerja di pintu masuknya. Aku seperti memiliki napas baru.

Seminggu setelahnya aku mengirim surat lamaran kerja. Tidak langsung kubuat hari itu juga karena kondisi tubuh ini sedang buruk. Toh, kalau memang rejekiku, pekerjaan itu tidak akan ke mana.

Tibalah suatu hari aku mendapat panggilan interview. Aku kembali bertatap muka dengannya. Perempuan itu tidak banyak berubah, masih segar dan selalu cantik. Hanya saja rambutnya kini lebih pendek. Di antara beberapa calon lainnya aku satu-satunya yang terpilih. Dia menempatkanku di bagian percetakan.

Hari pertama kerja, menu makan siangnya cukup spesial, ayam lodho. Aku menganggapnya sambutan atas bergabungnya aku di sana. Hari-hari selanjutnya aku tetap diperlakukan sangat baik. Sampai-sampai aku menganggapnya rumah kedua. Sampai-sampai aku memakan makanannya. Sampai-sampai kusuapi anaknya. Sampai ... kujamah ranjangnya.

Iya, aku jatuh cinta pada suaminya. Lelaki kalem yang melimpahkan perhatian padaku. Hal yang belum pernah kudapatkan dari laki-laki mana pun. Kini, tanpa sepengetahuan Jelita, suaminya membelikanku rumah mewah di tengah kota. Dia mengunjungiku seminggu dua kali setiap Jelita ke luar kota untuk mengurus usaha mereka. Usaha yang sepenuhnya menggunakan uang sang suami. Jelita hanya memutarnya.

Pun begitu, kekagumanku pada Jelita tidak pernah berakhir. Jika aku laki-laki pasti telah lama mengejar cintanya. Jika sekarang aku terlibat patgulipat dengan pria yang dicintainya, sungguh bukan maksudku menyakiti perasaannya. Aku hanya tak kuasa berpisah dengan lelaki itu. Biar bagaimana pun aku akan menyimpan semua ini serapat mungkin agar Jelita tetap ramah padaku dan aku tetap bisa berada di dekatnya untuk mengagumi kecantikan perempuan itu.

Selesai

Cerpen ini ada dalam buku saya Antologi Deja Vu.

Jumat, 02 Agustus 2019

Macam-Macam Tokoh Dalam Cerita Fiksi

Dalam cerita fiksi ada karakter tokoh yang ingin digambarkan oleh pengarang demi membangun kisah yang dramatik. Selain protagonis dan antagonis yang sering kita kenal, masih ada beberapa karakter tokoh yang peranannya tidak kalah penting. Begini lengkapnya,

1. Protagonis
Tokoh yang secara umum digambarkan bersifat baik. Merupakan tokoh penggerak plot dari awal sampai akhir. Biasanya menjadi idola pembaca.

2. Antagonis
Tokoh yang secara umum digambarkan bersifat jahat. Penentang tokoh protagonis.

3. Tritagonis
Tokoh penengah yang dipercaya oleh tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh ini biasanya berwatak bijaksana yang memberikan solusi dari suatu permasalahan.

4. Deuteragonis
Tokoh yang ada di pihak protagonis. Deuteragonis adalah tokoh penting kedua setelah protagonis dan sebelum tritagonis.

5. Raisonneur
Tokoh yang digunakan pengarang sebagai perwakilan pemikiran pengarang secara langsung.

6. Foil
Kebalikan dari tritagonis. Sering terlibat konflik dengan protagonis dan antagonis. Namun, foil lebih memihak antagonis. Tokoh ini menjadikan konflik semakin runyam.

7. Confident
Perannya mirip deuteragonis tapi lebih bisa menjaga rahasia protagonis.

8. Utility
Pelengkap untuk mendukung rangkaian cerita dan kesinambungan dramatik. Biar pun pelengkap peran utility juga penting karena apabila tokoh ini tidak ada, maka akan ada kesenjangan dari setiap kisah yang dibangun.

Ok. Demikianlah ilmu yang saya colong semalam. Semoga bermanfaat.

Senin, 15 Juli 2019

Sepotong Tempe (cerpen)

Di sebuah warung yang diteduhi rindangnya pohon mangga, aku biasa berdiri setiap pagi menunggu antrean panjang tempe pecel. Bukan nasi yang kubeli karena sudah matang di rumah. Sering sampai pegal betis ini menanti tempe tersebut matang. Sengaja memang digorengnya mendadak agar masih hangat ketika dihidangkan. Cara itupun berhasil menarik minat pembeli yang sebagian besar terdiri dari emak-emak.

Temanku bilang, "Emak selalu benar. Kalau berurusan dengan mereka mending kita melipir." Nah, di warung nasi pecel itupun begitu adanya. Kadang aku dapat antrean lebih dulu, tapi pulangnya paling akhir.

"Cepet. Anakku mau sekolah."

"Ayo to, Lek. Aku dulu, bojoku mau kerja."

Itu contoh alasan yang mereka gunakan agar didahulukan. Klise. Jika penjual yang bernama Lek Mijah itu tak menghiraukan, emak yang mentalnya sekuat baja lapis lima langsung mengambil sendiri tempe-tempe di dalam loyang, di depan Lek Mijah. Apakah ditegur? Tidak. Alasan Lek Mijah begini, "kami sama-sama tua kalau kutegur nanti dia malu."

Apakah pembeli yang lain marah? Iya. Mereka menggerutu begitu emak itu pergi. Sampai ada yang bilang, "kalau bukan tetanggaku sudah kuludahi orang kayak gitu." Padahal yang bilang itupun tak jarang menyerobot antrean. Aku saksinya sebagai pelanggan setia.

Yang paling menggelikan itu pembeli datang lewat pintu belakang, langsung masuk dapur dan tempe yang masih dalam wajan diborong. Padahal di depan warung yang antre bejibun. Berbagai macam protes sudah dilayangkan diam-diam pada penjual, tapi sejauh ini memang tidak pernah efektif karena lingkungan kami masih menjunjung tinggi, "mangan ora mangan kumpul." Tidak boleh cek-cok atau ribut. Apalagi perkara makanan. Tabu.

Korbannya adalah orang-orang sepertiku yang ditakdirkan sesunyi kuburan pada malam Jum'at Kliwon. Hanya pasrah. Bukan karena betah, melainkan mengalah. Ingat kata Si Mbah, "wong nylalah bojone lurah." Sampai trenyuh hati Lek Mijah sehingga aku selalu dikasih harga tempe lebih murah.

Sering karena kebiasaan mengalah itu, mas iparku berangkat mengajar tanpa sarapan dulu. Dengan jarak tempuh ke sekolah lebih dari seratus kali panjang lapangan bola, bisa dibayangkan betapa melilit perutnya. Alhasil, begitu sampai di rumah aku diomelin si mbak. Padahal dia sendiri tidak pernah mau beli sebab malas antre.

Dampaknya bukan pada mas ipar saja. Sering aku telat masuk kerja gara-gara kebiasaan beli tempe. Sampai-sampai disemprot teman senior, dimarahin bu bos, tugas ditambah-tambah. Puncaknya, waktu shift pagi aku maksa ambil siang gara-gara telanjur kesiangan. Lalu, aku dipecat hari itu juga.

Pun begitu aku masih juga mengantre setiap pagi di warung nasi pecel itu sampai pohon mangga di halamannya berbuah tiga kali. Semata-mata karena aku dituntut menyediakan sarapan untuk anggota keluarga yang hendak berangkat kerja setelah ibuku pulang ke alam baka. Menjadi semacam ritual wajib selain shalat lima waktu. Apalagi bapak tidak suka kalau sarapan pakai tahu atau telur, harus tempe. Dulu beliau dan mendiang ibu pernah jualan tempe. Bahkan aku lahir pukul satu dini hari, dua puluh tiga musim penghujan silam saat semua orang sedang memotong tempe sebelum dipasarkan subuh hari. Mungkin bapak ingin bernostalgia.

"Agar bapak tak nelangsa biarlah aku tak kerja," pikirku. Mengabaikan kebutuhan-kebutuhan akan baju baru, ponsel baru, peralatan make up baru selayaknya anak gadis pada umumnya.

Hingga pada suatu pagi ketika laron-laron beterbangan di halaman, aku yang baru keluar kamar mau kembali beli tempe pecel mendengar bapak ngobrol dengan seseorang di ruang tamu. Suara yang sangat familier. Sayup kudengar orang itu bilang hari ini menutup warung demi berkunjung ke tempat kami. Tubuhku panas dingin saat dia menyampaikan ingin melamarku untuk putra semata wayangnya. Seorang perwira militer yang baru kembali dua bulan lalu dari tugas di perbatasan Timor Leste. Katanya, putranya tertarik karena sering melihatku antre di warung nasi pecel miliknya. Ya, tamu bapak itu adalah Lek Mijah.

Dipersunting seorang perwira tak pernah berani aku memimpikannya. Sebuah kehormatan yang jarang-jarang didapat perawan kampung sepertiku. Bahkan emak-emak yang suka menyerobot antrean pun tak mendapat kehormatan semacam ini dulu. Apalagi putra Lek Mijah memiliki tatapan sayu dengan hidung lancip paruh elang yang sudah lama jadi incaran gadis-gadis tetangga.

Akhirnya, esok hari kuterima lamaran itu. Pernikahan akan digelar pada awal kemarau depan dengan kembang api yang membuat malam seperti siang. Tak kusangka, kesabaran antre tempe membawaku pada prosesi pedang pora. Ah, hidup memang kece.

***